Denifisi Manajemen Konflik
Denifisi Konflik :
Menurut Nardjana (1994) Konflik adalah akibat
situasi dimana keinginan atau kehendak yang berbeda atau berlawanan antara satu
dengan yang lain, sehingga salah satu atau keduanya saling terganggu.
Menurut Killman dan Thomas (1978) Konflik
merupakan kondisi terjadinya ketidakcocokan antar nilai atau tujuan-tujuan yang
ingin dicapai, baik secara individu maupun kelompok atau hubungan dengan orang
lain. Kondisi yang telah dikemukakan tersebut dapat menggangu bahkan menghambat
tercapai emosi atau steres yang memepengaruhi efisiensi dan produktifitas
kerja.
Menurut Wood, Walace, Zeffane, Schermerhorn, Hunt,
dan Osborn (1998:580) yang dimaksud dengan konflik (dalan lingkup
organisasi) adalah situasi dimana dua atau banyak orang saling tidak setuju
permasalahan yang menyangkut kepentingan organisasi dan/atau dengan timbulnya
perasaan permusuhan satu dengan yang lainnya.
Menurut Stoner, konflik adalah mencakup
ketidaksepakatan soal alokasi sumber daya yang langka atau perselisihan soal
tujuan, status, nilai, persepsi, atau kepribadian.
Ciri-ciri konflik :
1. Setidak-tidaknya ada dua pihak yang secara
perseorangan maupun kelompok yang terlibat dalam suatu interaksi yang saling
bertentangan.
2. Paling tidak timbul pertentangan antara dua pihak
secara perseorangan maupun kelompok dalam mencapai tujuan , memainkan peran dan
ambisuis atau adanya nilai-nilai atau norma yang saling berlawanan.
3. Munculnya interaksi yang sering kalo ditandai oleh
gejal-gejala perilaku yang direncanakan untuk saling menindakan, menurangi dan
menekan terhadap pihak lain agar dapat memperoleh keuntungan seperti : status,
jabatan, tanggung jawab, pemenuhan berbagai kebutuhan fisik : sandang-pangan,
materi atau kesejahteraan dll.
4. Munculnya tindakan yang saling berhadapan sebagai
akibat pertentangan yang berlarut-larut.
5. Munculnya ketindak seimbangan akibat dari usaha
masing-masing pihak yang terkait dengan kedudukan status social, pangkat,
solongan, kewibaan, kekuasaan, harga diri, prestise, dan sebagainya.
Tahapan-tahapan Perkembangan kearah terjadinya Konflik
:
1. Konlik masih tersembunyi (laten) berbagai macam
kondisi emosional yang dirasakan sebagai hal yang dan tidak dipersoalan sebagai
hal yang mengganggu dirinya.
2. Konflik yang mendahului (antecedent condition),
tahapan perubahan apa yang dirasakan secara tersembunyi yang belum mengganggu
dirinya, perbedaan peran dan sebagainya.
3. Konflik yang dapat diamati (perceived conflict) dan
konflik yang dapat dirasakan (felt conflict) muncul sebagai aibat antecedent
condition yang tidak terselaikan.
4. Konflik terlihat secara terwujud dalam perilaku
(manifest behavior) upaya untuk mengatisipsi timbulnya konflik dan sebab akibat
yang ditimbulkannya : individu, kelompok atau organisasi cenderung melakukan
berbagai mekanisme pertahankan diri melalui perilaku
5. Penyelesaian konflik atau tekanan konflik, pada tahan
ini ada dua tindakan yang perlu diambil terhadap suatu konflik, yaitu
penyelesaian konlfik dengan berbagai stategi atau malah sebaiknya ditekan.
6. Akibat penyelesaian konflik. Jika konflik
diseleisaikan efektif dan strategi yang tepat maka dapat memberikan kepuasan
dan dampak positif bagi semua pihak. Sebaiknya bila tidak, maka bisa berdampak
negative terhadap kedua pihak sehingga mempengaruhi produktifitas kerja.
(Wijono, 1993)
Sumber-sember konflik :
1. Konflik Dalam Diri Individu (Intraindividual Conflict)
A. Konflik yang berkaitan dengan tujuan yang hendak
dicapai (goal conflict)
(Wjono, 1993) Ada tiga jenis konflik yang
berkaitan dengan tujuan yang hendak dicapai (goal conflict), yaitu :
1. Approach-approach conflict, dimana orang didorang
untuk melakukan pendekatan positif terhadap dua persoalan atau lebih, tetapi
tujuan-tujuan yang dicapai saling terpisah satu dengan yang lainnya.
2. Approach-avoidance conflict, dimana orang didorong
untuk melakukan pendekatan dengan persoalan-persoalan yang mengacu pada pada
satu tujuannya dapat mengandung nilai positif dan negative yang dialami oleh
orang yang menagalami konflik.
3. Avoidance-avoidance conflict, dimana orang didorong
untuk menghindari yang mempunyai resiko paling kecil dan mudah diatasi serta
akibatnya tidak begitu fatal.
B. Konflik yang berkaitan dengan Peran dan Ambigius
Didalam organisasi, konflik sering kali terjadi karena
adanya perbedaan peran dan abgius dalam tugas dan tanggung jawab terhadap
sikap-sikap, nilai-nilai, dan harapan-harapan yang telah ditetapkan dalam suatu
organisasi.
Fulley dan House , memberikan kesimpulan atas hasil
penyeledikan keputusan mengenai konflik peran dalan organisasi, yang dicatat
melalui indikasi-indikasi yang mempengaruhi oleh empat variable pokok , yaitu :
1. Menpunyai kesadaran akan terjadinya konflik peran.
2. Menerika kondisi dan situasi bila muncul konflik yang
bisa membuat tekanan-tekanan dalam perkerjaan.
3. Memiliki kemampuan untuk mentolelir steres.
4. Memperkuat sikap/sifat pribadi lebih tahan dalam
menghadapi konflik yang muncul dalam organisasi. (Wijono, 1993)
(Stevenin, 2000) ada beberapa faktor yang mendasari munculnya konfilik
antar pribadi dalam organisasi, missal adanya :
1. Pemecahan masalah secara sederhana. Fokusnya tertuju
pada penyelesaian masalah dan orang-orangnya tidak mandapatkan perhatian utama.
2. Penyesuian/kompromi. Kedua pihak bersedia bersaing
saling member dan menerima, namun tidak selalu langsung tertuju pada akat
permasalahan.
3. Tidak sepakat tingkat konflik ini ditandai dengan
pendapat yang diperdebatkan. Mengambil sikap menjaga jarak. Sebagai manajer,
manajer perlu menmanfaatkan untuk menunjukan aspek-aspek yang sehat.
4. Kalah/menang. Ini adalah ketidaksepakatan yang sertai
sikap bersaing yang amat kuat.
5. Keras kepala. Ini adalah mentalitas. Satu-satunya cara
kasih karunia yang menyelematkan dalam konflik ini adalah karena biasanya hal
ini tetap mengacu pada pemikian logis. Meskipun demikian tidak ada kompromi
sehingga tidak ada penyelesaian.
6. Penyangkalan. Ini adalah salah satu jenis konflik yang
paling sulit diatasi karena tidak da komunikasi secara terbuka dan terus
terang. Konflik hanya dipendam. KOnflik yang tidak bisa diungkapan adalah
konflik yang tidak bisa diselesaikan.
Dampak Konflik :
Konflik dapat berdampak positif dan negative yang
rinciannya sebagai berikut :
A. Dampak konflik positif
Menurut (Wijono, 1993)
bila upaya penanganan dan pengelolaan konflik karyawan dilakukan secara efisien
dan efektif maka dampak konflik positif akan muncul melalui perilaku
dinampakkan oleh karyawan sebagai sumber daya manusia potensial dengan akibat
seperti :
1. Meningkatnya ketertiban dan kedisplinan dalam
menggunakan waktu bekerja, seperti hampir tidak pernah ada karyawan yang absen
tanpa alas an yang jelas, masuk dan pulang kerja tepat pada waktunya, pada
waktu jam kerja setiap karyawan menggunakan waktu secara efektif dan hasil
kerja meningkat.
2. Meningkatnya hubungan kerjasama yang produktif. Hal
ini terlihat dari cara pembagian tugas dan tanggung jawab yang sesuai dengan
analisis pekerjaan masing-masing.
3. Meningkatnya motivasi kerja untuk melakukan kompetisi
secarasehat antar pribadi maupun antar kelompok dalam organisasi , seperti
terlihat dalam upaya peningkatan prestasi kerja, tanggung jawab, dedikasi , loyalitas, kejujuran,
inisiatif, dan kreatifitas.
4. Semakin berkurangnya tekanan-tekanan, intrik-intrik
yang dapat membuat stress bahkan produktifitas kerja semakin meningkat. Hal ini
karena karyawan memperoleh perasaan perasaan aman, kepercayaan diri,
penghargaan dalam penghasilan kerjaannya atau bahkan dapat bisa mengembangkan
karier dan potensi dirinya.
5. Banyaknya karyawaan yang dapat mengembangkan karier
nya sesui dengan potensinya melalui pelayanan pendidikan(education) , pelatihan
(training) , dan konseling (counseling) dalam aspek kognitif, afektif,
psikomotrik. Semua ini bisa menjadikan tujuan organisasi tercapau dan produktivitas
kerja meningkat akhirnya kesejahteraan karyawan terjamin.
B. Dampak Negatif Konflik
Dampek negatik konflik (Wijono,
1993) sesungguhnya disebabkan oleh kurangnya efektif dalam pengelolaan
yaitu ada kecendungan untuk membiarkan konflik tumbuh subur dan menhindari
terjadinya konflik. Akibatnya muncul keadaan-keadaan sebagai berikut :
1. Meninhgktkan jumlah absensi karyawan dan seringnya
keryawan mangkir pada waktu jam-jam kerja berlangsung seperti misalnya ngobrol
berjam-jam sambil mendengerkan radio , berjalan mondar-mandir menyibukan diri,
tidur selama pimpinan tidak ada di tempat, pulang lebih awal dan dating
terlambat dengan berbagai alas an yang tidak jelas.
2. Banyaknya karyawan yang mengeluh karena sikap atau
perilaku teman kerjaanya yang dirasakan kurang adil untuk berbagi tugas dan
tanggung jawab.
3. Banyaknya karyawan yang sakit-sakitan , sulit untuk
konsentrasi dalam pekerjaannya, munculnya perasaan yang kurang aman, merasa
tertolak oleh teman ataupun atasan, merasa tidak dihargai hasil pekerjaannya,
timbulnya stress, dll.
4. Seringnya karyawan melakukan mekanisme pertahanan diri
bila memperoleh teguran dari atasan, misalnya mengadakan sabotase terhadap
jalannya produksi , dengan cara merusak mesin-mesin atau peralatan kerja. ,
mengadakan provokasi terhadap rekan kerja, membuat intrik-intrik yang merugikan
orang lain.
5. Meningkatnya kecendrungan karyawan keluar masuk dan
ini disebut labor turn-over. Kondisi semacam ini bisa menghambat kelancaran dan
kestabilan organisasi secara menyeluruh karena produksi bisa macet, kehilangan
karyawan potensial, waktu tersita hanya untuk kegiatan seleksi dan memberikan
latihan dan dapat muncul pemborosan dalan cost benefit.
Konflik yang tidak terselesaikan dapat merusak
lingkungan kerja sekaligus orang-orang di dalamnya , oleh kerena itu konflik
harus mendapat perhatian. Jika tidak maka seorang manajer akan terjebak pada
hal-hal seperti :
1. Kehilngan keryawan yang berharga dan memiliki keahlian
teknis. Dapat saja mereka mengundurkan diri. Manajer harus menugaskkan mereka
kembali dan contoh yang paling buruk adalah karena mungkin. Manajer harus
memecat mereka.
2. Menahan aatau mengubah informasi yang diperlukan
rekan-rekan sekerja yang lurus hati agar tetap dapat mencapai prestasi.
3. Keputusan yang lebih buruk yang diambil oleh perseorangan
atau tim karena mereka seibuk memusatkan perhatian pada orangnya , bukan pada
masalahnya.
4. Kemungkinan sabotase terhadap perkerjaan atau
peralatan, seringkali dimaklumi sebagai faktor “kecelakaan” atau “lupa”. Namun,
dapat membuat pengeluaran yang diakibatkan tak terhitung banyaknya.
5. Sabotase terhadapa hubungan pribadi dan reputasi
angotan tim melalui gossip atau kabar burung. Segera setelah orang tidak
memusatkan perhatian terhadap pada tujuan perubahan, tetapi pada masalahnya
emosi dan pribadai , maka perhatian mereka akan terus terpusatkan kesana.
6. Menurunkan moral, semangat, dan motivasi kerja.
Seorang karyawan yang jengkel dan merasa ada yang berbuat salah kepadanya tidak
lama kemudian dapat meracuni seluruh anggota tim. Bila semangat sudah berkurang,
manajer akan sulit sekali mengobarkan kembali
7. Masalah yang berkaitan dengan stress. Ada
bermacam-macam, mulai dari efisiensi yang berkurang sampai kebiasaan membolos
kerja.
Strategi Mengatasi Konflik :
Menurut (Stavenin, 2000) terdapat lima langkah
meraih kedamaian dalan konfflik. Ada pun sumber masalahnya , lima langkah
berikut ini bersifat mendasar dalam mengatasi kesulitan :
1. Pengenalan
Kesenjangan antara keadaan yang ada diindentifikasi
dan bagaimana keadaan yang seharusnya. Satu-satunya menjadi perangkap adalah
kesalahan dalam mendeteksi (tidak mempedulikan masalah atau menganggap ada
masalah padahal sebenarnya tidak ada).
2. Diagnosis
Inilah langkah yang terpenting. Metode yang benar dan
telah teruji mengenai siapa, apa, mengapa, dimana, ini bargaimana berhasil
dengan sempurna. Pusatkan perhatian pada masalah utama dan bukan pada hal-hal
spele.
3. Menyepakati suatu solusi
Kumpulkanlah masukan mengenai jalan keluar yang
memungkinkan dari orang-orang yang terliat didalamnya. Saringlah penyelesaian
yang tidak dapat diterapkan atau tidak praktis. Jangan sekali-kali
menyelesaikan masalah dengan cara yang tidak terlalu baik. Carilah cara yang
terbaik.
4. Pelaksanaan
Ingatlah bahwa akan selalu ada keuntungan dan
kerugian. Hati-hati , jangan dibiarkan pertimbangkanini terlalu mempengaruhi
pilihan dan arah kelompok.
5. Evaluasi
Penyelesaian itu sendiri dapat melahirkan serangkaian
masalah baru. Jika penyelesaian tampak tidak berhasil, kembalilah ke
langkah-langkah sebelumnya dan cobalah lagi.
A. Strategi Mengatasi Konflik dalam Diri Individu
(Intraindividual Conflict)
Menurut (Wijono, 1993), untuk
mengatasi konflikdalam diri individu diperlukan tidak tujuh strategi yaitu :
1. Menciptakan kontak dan membina hubungan.
2. Menumbuhkan rasa percaya dan penerimaan.
3. Menumbuhkan kemampuan / kekuatan diri sendiri.
4. Menentukan tujuan.
5. Mencari beberapa alternatif.
6. Memilih alternatif.
7. Merencanakan pelaksaan jalan keluar.
B. Strategi Mengatasi Konflik Antar Pribadi
(Interpersonal Conflict)
1. Strategi Kalah-Kalah (Lose-Lose Strategy)
Beorientasi
pada dua individu atau kelompok yang sama-sama kalah. Biasanya individu atau
kelompok yang bertikai mengambil jalan tengah (berkompromi) atau membayar
sekelompok orang yang terlibat dalam konflik atau menggunakan jasa orang atau
kelompok ketiga sebagai penengah.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
1. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
2. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
Dalam strategi kalah-kalah, konflik bisa diselesaikan dengan cara melibatkan pihak ketiga bila perundingan mengalami jalan buntu. Maka pihak ketiga diundang untuk campur tangan oleh pihak-pihak yang berselisih atau barangkali bertindak atas kemauannya sendiri. Ada dua tipe utama dalam campur tangan pihak ketiga yaitu:
1. Arbitrasi (Arbitration)
Arbitrasi merupakan prosedur di mana pihak ketiga mendengarkan kedua belah pihak yang berselisih, pihak ketiga bertindak sebagai hakim dan penengah dalam menentukan penyelesaian konflik melalui suatu perjanjian yang mengikat.
2. Mediasi (Mediation)
Mediasi dipergunakan oleh Mediator untuk menyelesaikan konflik tidak seperti yang diselesaikan oleh abriator, karena seorang mediator tidak mempunyai wewenang secara langsung terhadap pihak-pihak yang bertikai dan rekomendasi yang diberikan tidak mengikat.
2. Strategi Menang-Kalah (win-Lose Strategy)
Dalam
strategi saya menang anda kalah (win lose strategy), menekankan adanya salah
satu pihak yang sedang konflik mengalami kekalahan tetapi yang lain memperoleh
kemenangan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
1. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
2. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
3. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
4. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
5. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
Beberapa cara yang digunakan untuk menyelesaikan konflik
dengan win-lose strategy (Wijono, 1993 : 44), dapat melalui:
1. Penarikan diri, yaitu proses penyelesaian konflik antara dua atau lebih pihak yang kurang puas sebagai akibat dari ketergantungan tugas (task independence).
2. Taktik-taktik penghalusan dan damai, yaitu dengan melakukan tindakan perdamaian dengan pihak lawan untuk menghindari terjadinya konfrontasi terhadap perbedaan dan kekaburan dalam batas-batas bidang kerja (jurisdictioanal ambiquity).
3. Bujukan, yaitu dengan membujuk pihak lain untuk mengubah posisinya untuk mempertimbangkan informasi-informasi faktual yang relevan dengan konflik, karena adanya rintangan komunikasi (communication barriers).
4. Taktik paksaan dan penekanan, yaitu menggunakan kekuasaan formal dengan menunjukkan kekuatan (power) melalui sikap otoriter karena dipengaruhi oleh sifat-sifat individu (individual traits).
5. Taktik-taktik yang berorientasi pada tawar-menawar dan pertukaran persetujuan sehingga tercapai suatu kompromi yang dapat diterima oleh dua belah pihak, untuk menyelesaikan konflik yang berkaitan dengan persaingan terhadap sumber-sumber (competition for resources) secara optimal bagi pihak-pihak yang berkepentingan.
3. Strategi Menang-Menang (Win-Win Strategy)
Penyelesaian
yang dipandang manusiawi, karena menggunakan segala pengetahuan, sikap dan
keterampilan menciptakan relasi komunikasi dan interaksi yang dapat membuat
pihak-pihak yang terlibat saling merasa aman dari ancaman, merasa dihargai,
menciptakan suasana kondusif dan memperoleh kesempatan untuk mengembangkan
potensi masing-masing dalam upaya penyelesaian konflik. Jadi strategi ini
menolong memecahkan masalah pihak-pihak yang terlibat dalam konflik, bukan
hanya sekedar memojokkan orang.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
1. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
2. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik.
Strategi menang-menang jarang dipergunakan dalam organisasi dan industri, tetapi ada 2 cara didalam strategi ini yang dapat dipergunakan sebagai alternatif pemecahan konflik interpersonal yaitu:
1. Pemecahan masalah terpadu (Integrative Problema Solving) Usaha untuk menyelesaikan secara mufakat atau memadukan kebutuhan-kebutuhan kedua belah pihak.
2. Konsultasi proses antar pihak (Inter-Party Process Consultation) Dalam penyelesaian melalui konsultasi proses, biasanya ditangani oleh konsultan proses, dimana keduanya tidak mempunyai kewenangan untuk menyelesaikan konflik dengan kekuasaan atau menghakimi
salah satu atau kedua belah pihak yang terlibat konflik.
C. Stratetegi Mengatasi konflik Organisasi (Organization
Conflict)
1. Pendekatan Birokratis (Bureucratic Approach)
Konflik muncul
karena adanya hubungan birokratis yang terjadi secara vertikal dan untuk
menghadapi konflik vertikal model ini, manajer cenderung menggunakan struktur
hirarki (hierarchical structure) dalam hubungannya secara otokritas. Konflik
terjadi karena pimpinan berupaya mengontrol segala aktivitas dan tindakan yang
dilakukan oleh bawahannya. Strategi untuk pemecahan masalah konflik seperti ini
biasanya dipergunakan sebagai pengganti dari peraturan-peraturan birokratis
untuk mengontrol pribadi bawahannya. Pendekatan birokratis (Bureaucratic
Approach) dalam organisasi bertujuan mengantisipasi konflik vertikal (hirarkie)
didekati dengan cara menggunakan hirarki
struktural (structural hierarchical).
struktural (structural hierarchical).
2. Pendekatan Intervensi Otoritatif Dalam Konlik Lateral
(Authoritative Intervention in Lateral Conflict)
Bila terjadi
konflik lateral, biasanya akan diselesaikan sendiri oleh pihak-pihak yang
terlibat konflik. Kemudian jika konflik tersebut ternyata tidak dapat
diselesaikan secara konstruktif, biasanya manajer langsung melakukan intervensi
secara otoratif kedua belah pihak.
3. Pendekatan Sistem (System Approach)
Model
pendekatan perundingan menekankan pada masalah-masalah kompetisi dan model
pendekatan birokrasi menekankan pada kesulitan-kesulitan dalam kontrol, maka
pendekatan sistem (system Approach) adalah mengkoordinasikan masalah-masalah
konflik yang muncul.
Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.
Pendekatan ini menekankan pada hubungan lateral dan horizontal antara fungsi-fungsi pemasaran dengan produksi dalam suatu organisasi.
4. Reorganisasi Struktural ( Structural Reorganization)
Cara pendekatan
dapat melalui mengubah sistem untuk melihat kemungkinan terjadinya reorganisasi
struktural guna meluruskan perbedaan kepentingan dan tujuan yang hendak dicapai
kedua belah pihak, seperti membentuk wadah baru dalam organisasi non formal
untuk mengatasi konflik yang berlarut-larut sebagai akibat adanya saling
ketergantungan tugas (task interdependence) dalam mencapai kepentingan dan
tujuan yang berbeda sehingga fungsi organisasi menjadi kabur.
Motivasi
Pengertian
Motivasi :
Salah
satu aspek memanfaatkan pegawai ialah pemberian motivasi (daya perangsang)
kepada pegawai, dengan istilah popular sekarang pemberian kegairahan bekerja
kepada pegawai. Telah dibatasi bahwa memanfaatkan pegawai yang member manfaat
kepada perusahaan. Ini juga berarti bahwa setiap pegawai yang memberi
kemungkinan bermanfaat kedalam perusahaan, diusahakan oleh pimpinan agar
kemungkinan itu menjadi kenyataan.
Menurut The
Liang Gie cs. (Matutina dkk,1993) bahwa pekerjaa yang dilakukan oleh
seseorang manajer dalam memberikan inspirasi, semangat, dan dorongan kepada
orang lain (pegawai) untuk mengambil tindakan-tindakan. Pemberian dorongan ini
dimaksudkan untuk mengingatkan kepada orang-orang atau pegawai agar mereka
selalu semangat dan dapat sebagaimana dikehendaki dari orang tersebut. Maka
seorang manajer dituntut untuk pengenalan dan memahami akan sifat karakteristik
pegawainya.
Menurut Martoyo
(2000) motivasi pada dasarnya adalah prosesnya untuk mencoba mempengaruhi
seseorang agar melakukan yang kita inginkan. Dengan kata lain adalah dorongan
dari luar terhadap orang agar mau melaksanakan sesuatu. Dengan dorongan
(driving force) disini dimaksudkan desakan yang dialami untuk memuaskan
kebutuhan-kebutuhan hidup.
Motivasi adalah proses yang menjelaskan intensitas, arah, dan
ketekunan seorang individu untuk mencapai tujuan nya. Tiga elemen utama dalam
denifisi ini adalah intensitas, arah, ketekunan.
Berdasarkan teori hieraki kebutuhan Abraham Maslow,
teori X dan Y Douglas McGregor maupun teori motivasi kontemporer, arti mitivasi
adalah alasan yang mendasari sebuah perbutan yang dilakukan oleh seorang
individu. Seseorang dikatakan memiliki mitivasi tinggi dapat diartikan seorang
tersebut memiliki alasan yang sangat kuat untuk mencapai apa yang diinginkan
dengan mengerjakan pekerjaannya yang sekarang ini dengan giat dan tekun. Dalam
hubungan motivasi dan intensitas, intensitas terkait dengan seberapa giat seorang
burusaha, tetapi intensitas tinggi tidak menghasilkan prestasi kerja yang
memuaskan kecuali upaya tersebut dikaitkan dengan arah yang menguntungkan
organisasi. Sebaliknya elemen yang terakhir, ketekunan, merupakan ukuran mengenai berapa lam seorang
dapat dipertahankan usahanya.
Teori X dan Y :
Douglas McGregor menemukan teori X dan Y setelah mengkaji para manajer
berhubungan dengan karyawannya. Kesimpulan yang didaptkan adalah pandangan
manajer mengenai sifat manusia didasarkan atas beberapa kelompok asumsi
tertentu dan bahwa mereka cenderung membentuk perilaku mereka terhadap karyawan
berdasarkan asumsi-asumsi tersebut. Ada empat yang dimiliki dalam teori X.
1. Karyawan, pada dasarnya tidak menyukai pekerjaan dan sebisa
mungkin berusaha untuk menghindarinya.
2. Karena karyawan tidak menyukai pekerjaan, mereka harus dipakai,
dikendalikan, atau diancam denga hukuman untuk mencapai tujuan.
3. Karyawan akan menghindari tanggung jawab dan mencari perintah
formal, dan dimana ini adalah asumsi ketiga.
4. Sebagaian keryawan menempatkan keamanan di atas semua faktor
lain terkait pekerjaan dan menunjukan sedikit ambisi.
Bertentangan dengan pandangan-pandangan negatif mengenai
sifat manusia dalam teori X, ada pula emapat asumsi positif yang diisebutkan
dalam teori Y :
1. Karyawan menganggap kerja sebagai hal yang menyenangkan,
seperti halnya istirahat atau bermain.
2. Karyawan akan berlatih mengendalikan diri dan emosi untuk
mencapai berbagai tujuan.
3. Karyawan bersedia belajar untuk menerima, mencari, dan
bertanggung jawab. Karyawan mampu menbuat berbagai keputusan inovatif yang
diedarkan ke seluruh populasi, dan bukan hanya bagi mereka yang menduduki
posisi manajemen.
Teori Motivasi Kontemporer :
David McClelland, teori motivasi kotemporer bukan teori yang
dikembangkan baru-baru ini, melainkan teori yang mengambarkan kondisi pemikiran
saat ini dalam menjelaskan motivasi kayawan. Teori motivasi kotemporer mencakup
:
1. Teori kebutuhan McClelland, dikembangkan berfokus pada tiga
kebutuhan yang didenifisikan sebagai berikut :
-
Kebutuhan prestasi : dorongan untuk
melebihi, mencapai standar-standar, berusaha keras untuk berhasil.
-
Kebutuhan Berkuasa : kebutuhan untuk
membuat individu lain berperilaku sedemikian rupa sehingga mereka tidak akan
berperilaku sebaliknya.
-
Kebutuhan berafiliasi : keinginan
untuk menjalin suatu hubingan antarpeersonal yang ramah dan akrab.
2. Teori evaluasi kognitif, teori yanng menyatakan bahwa
pemberian penghargaan ekstrentik untuk berperilaku yang sebelumnya memuaskan
secara instrik cenderung mengurangi tingkat motivasi secara keseluruhan. Teori
evaluasi kognitif telah diteliti secara ekssentif dan ada banyak studi yang
mendukung.
3. Teori penentuan tujuan , teori yang mengemukakan bawha niat
untuk mancapai tujuan merupakan sumber motivasi kerja yang sama. Artinya,
tujuan memritahukan seorang karyawan apa yang harus dilakukan dan berapa banyal
usaha yang harus dikeluarkan.
4. Teori Penguatan , dimana perilaku merupakan sebuah fungsi
dari konsekuensinya jadi teori tersebut mengabaikan keadaan batin individu dan
hanya terousat pada apa yang terjadi pada seorang ketika ia melakukan tindakan.
5. Teori Keadilan, teori bahwa individu membandingkan
masukan-masukan dan hasil pekerjaan mereka dengan masukan-masukan dan hasil
pekerjaan orang lain, dan kemudian merespon untuk menghilangkan ketidakadilan.
6. Teori Harapan, kekuatan dari suatu kecendrunagn untuk
bertindak dalam cara tertentu bergantung pada kekuatan dari suatu harapan bahwa
tindakan tersebut akan diikuti dengan hasil yang ada dan pada aya tarik dari
hasil itu terhadap individu tersebut.
Area Motivasi Manusia :
Empat area utama motivasi adalah makanan, cinta, seks dan
pencapaian. Tujuan-tujuan y ang mendasari motivasi itentukan sandiri oleh
individu yang melakukannya, individdu dianggap tergerak untuk mencapai tujuan
karena mitivasi intrinsik (keinginan beraktivitas atau meraih pencapaian
tertentu semata-mata demi kesenangan atau kepuasan dari melakukan aktivitas
tersebut), atau karena motivasi ekstrintik, yakni keinginan untuk mengejar
suatu tujuan yang diakibatkan oleh imbalan-imbalan eksternal, disamping itu
terdapat pula faktor yang lain yang mendukung diantaranya ialah faktor internal
yang datang dari dalam individu itu sendiri.
Variabel-variabel Motivasi :
Kerlinger, N. Fred dan Elazar J. Pedhazur (1987)
dalam Cut Zurnali (2004) menyatakan bahwa variabel motivasi terdiri
dari:
1. Motif atas kebutuhan dari pekerjaan (Motive)
2. Pengharapan atas lingkungan kerja (Expectation)
Kebutuhan atas imbalan (Insentive). Hal ini juga sesuai dengan yang di
kemukakan Atkinson (William G Scott, 1962: 83), memandang bahwa motivasi
adalah merupakan hasil penjumlahan dari fungsi-fungsi motive, harapan dan
insentif (Atkinson views motivation strengh in the form of an
equattion-motivation = f (motive + expectancy + incentive).
Jadi, mengacu pada pendapat-pendapat para ahli di atas, Cut Zurnali (2004) mengemukakan bahwa motivasi karyawan dipengaruhi oleh motif, harapan dan insentif yang diinginkan. Dalam banyak penelitian di bidang manajemen, administrasi, dan psikologi, variabel-variabel motivasi ini sering digunakan. Berikut akan dijelaskan masing-masing variabel motivasi tersebut.
Motif Motivasi :
Menurut Cut Zurnali (2004), motif adalah faktor-faktor yang
menyebabkan individu bertingkah laku atau bersikap tertentu. Jadi dicoba untuk
menjawab pertanyaan-pertanyaan seperti kebutuhan apa yang dicoba dipuaskan oleh
seseorang? Apa yang menyebabkan mereka melakukan sesuatu pekerjaan atau
aktivitas. Ini berarti bahwa setiap individu mempunyai kebutuhan yang ada di
dalam dirinya (inner needs) yang menyebabkan mereka didorong, ditekan atau dimotivasi
untuk memenuhinya. Kebutuhan tertentu yang mereka rasakan akan menentukan
tindakan yang mereka lakukan.
Lebih lanjut Cut Zurnali mengutip pendapat Fremout E. kast dan
james E. Rosenzweig (1970) yang mendefinisikan motive sebagai : a
motive what prompts a person to act in a certain way or at least develop
appropensity for speccific behavior. The urge to action can tauched off by an
external stimulus, or it can be internally generated in individual thought
processes. Jadi motive adalah suatu dorongan yang datang dari dalam diri
seseorang untuk melakukan atau sedikitnya adalah suatu kecenderungan
menyumbangkan perbuatan atau tingkah laku tertentu.
William G Scott (1962: 82) menerangkan tentang motive adalah
kebutuhan yang belum terpuaskan yang mendorong individu untuk mencapai tujuan
tertentu. Secara lengkap motiv menurut Scott motive are unsatiesfied need which
prompt an individual toward the accomplishment of aplicable goals. Berdasarkan
uraian di atas dapat dikatakan, motive adalah dorongan yang ada di dalam diri
seseorang untuk melakukan perbuatan guna memenuhi kepuasannya yang belum
terpuaskan. Selain itu, Maslow sebagaimana diungkap pada halaman sebelumnya
membagi kebutuhan manusia ke dalam beberapa hirarki, yakni kebutuhan-kebutuhan
fisik, keselamatan dan keamanan, sosial, penghargaan atau prestise dan
kebutuhan aktualisasi diri.
Harapan Motivasi :
Mengacu pada pendapat Victor Vroom, Cut Zurnali (2004)mengemukakan
bahwa ekspektasi adalah adanya kekuatan dari kecenderungan untuk bekerja secara benar tergantung pada
kekuatan dari pengharapan bahwa kerja akan diikuti dengan pemberian jaminan,
fasilitas dan lingkungan atau outcome yang menarik. RL. Kahn dan NC
Morce (1951: 264) secara singkat mengemukakan pendapatan mereka tentang
expectation, yakni Expectation which is the probability that the act will
obtain the goal. Jadi harapan adalah merupakan kemungkinan bahwa dengan
perbuatan akan mencapai tujuan. Arthur levingson dalam buku Vilfredo Pareto
(1953: 178) menyatakan : The individual is influenced in his action by
two major sources of role expectation the formal demands made by the company as
spalled out in the job, and the informal expectation forces make behavioral
demans on the individual attemps to structure the social situation and the
devine his place in it.
Dengan merumuskan beberapa pendapat para ahli, Cut Zurnali (2004)
menyatakan bahwa terdapat dua sumber besar yang dapat mempengaruhi kelakuan
individu, yaitu : sumber-sumber harapan yang berkenaan dengan peranannya
antara lain, tuntutan formal dari pihak pekerjaan yang terperinci dalam tugas
yang seharusnya dilakukan. Dan tuntutan informal yang dituntut oleh
kelompok-kelompok yang ditemui individu dalam lingkungan kerja. Di samping itu,
menurut Wiliam G Scott (1962: 105), addtionally, as could be
anticipated, the groups themselves can be axpected to interact, effecting the
others expectations. Ternyata kelompok karyawan sendiri dapat juga mempengaruhi
harapan-harapan yang akan dicapainya. Dan dengan adanya keyakinan atau
pengharapan untuk sukses dapat memotivasi seseorang untuk mewujudkan atau
menggerakkan usahanya (Gary Dessler, 1983: 66). Selanjutnya Vroom yang
secara khusus memformulasikan teori expectancy mengajukan 3 (tiga) konsep
konsep dasar, yaitu :
1. Valence atau kadar keinginan seseorang;
2. Instrumentality atau alat perantara;
3. Expectacy atau keyakinan untuk
mewujudkan keinginan itu sendiri (Gary Dessler, 1983: 66).
Insentif Motivasi :
Dalam kaitannya dengan insentif (incentive), Cut Zurnali
mengacu pada pendapat Robert Dubin (1988) yang menyatakan bahwa
pada dasarnya incentive itu adalah peransang, tepatnya pendapat Dubin adalah
incentive are the inducement placed the course of an going activities, keeping
activities toward directed one goal rather than another. Arti pendapat itu
kurang lebih, insentif adalah perangsang yang menjadikan sebab berlangsungnya
kegiatan, memelihara kegiatan agar mengarah langsung kepada satu tujuan yang
lebih baik dari yang lain. Morris S. Viteles (1973: 76) merumuskan
insentif sebagai keadaan yang membangkitkan kekuatan dinamis individu, atau
persiapan-persiapan dari pada keadaan yang mengantarkan dengan harapan dapat
mempengaruhi atau merubah sikap atau tingkah laku orang-orang. Secara lebih
lengkap Viteles menyatakan : incentive are situasions which function in
arousing dynamis forces in the individual, or managements of conditions
introduced with the expectation of influencing or altering the behavior of
people.
Menurut Cut Zurnali, pendapat yang mengemukakan bahwa insentif
adalah suatu perangsang atau daya tarik yang sengaja diberikan kepada karyawan
dengan tujuan agar karyawan ikut membangun, memelihara dan mempertebal serta
mengarahkan sikap atau tingkah laku mereka kepada satu tujuan yang akan dicapai
perusahaan. Joseph Tiffin (1985: 267) mengatakan bahwa pemnberian
insentif sangat diperlukan terutama apabila karyawan tidak banyak mengetahui
tentang hal apa yang akan dilakukannya. Berikut secara lengkap diuraikan
pendapat Tiffin: ordinary speaking, people will not learn very much about
anything unless they are motivated to do so, that is, unless they are supplied
with an adequate incentive. Maknanya bahwa seseorang tidak banyak mengetahui
tentang sesuatu hal, apabila mereka tidak didorong untuk melakukan pekerjaan
yang demikian itu, yaitu apabila mereka tidak dibekali dengan insentif secara
cukup.
Referensi :